artikel ini diambil dari website sarkub
Dalam kitab al-Ruh karya Ibnu Qayyim al-Jauziyyah (ulama rujukan wahabi) terdapat beberapa kisah yang mengindikasikan bahwa orang yang sudah meninggal dapat memberikan manfaat terhadap orang yang masih hidup. Tentunya hal ini sangat berseberangan dengan keyakinan kaum Wahabi pada umumnya, termasuk juga Mahrus Ali. Dan ketika argumen-argumen ini disodorkan kepada Mahrus Ali sering ditanggapi dengan kurang obyektif.
Seringkali Mahrus Ali dengan berani menyalahkan hasil ijtihad guru-guru besar di kalangan Wahabi, seperti Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Ibnu Taimiyah, dan Muhammad bin Abdul Wahhab tentang apa yang mereka sampaikan bertentangan dengan keyakinan umum ummat Wahabi. Bahkan yang lebih parah lagi Mahrus Ali mengangggap bahwa al-Ruh bukan karya Ibnu Qayyim!.
Dalam buku Sesat Tanpa Sadar (hal. 95), Mahrus Ali berkata :
“Tim LBM NU Jember dalam MKB (hal. 16-17) menyitir pernyataan Ibnu Qayyim al-Jauziyah ulama besar yang biasanya tidak punya harga di kalangan mereka, sebagai berikut:
Nabi SAW telah menetapkan kepada umatnya, apabila mereka mengucapkan salam kepada ahli kubur agar mengucapkannya seperti layaknya salam yang diucapkan kepada orang yang masih hidup yang ada di hadapannya, dan ini berarti berbicara kepada orang yang mendengar dan berakal, andaikan tidak demikian, niscaya khitab ini sama dengan berbicara kepada sesuatu yang tidak ada atau tidak berjiwa. Ulama salaf sepakat tentang hal ini, dalil-dalil atsar seluruhnya mutawatir dari mereka bahwa mayyit mengetahui ziarahnya orang yang hidup, dan merasa senang dengannya. (al-Ruh, hal. 24)
Setelah menyebutkan pernyataan di atas Mahrus Ali berkomentar dalam bukunya:
”Sebagaimana disampaikan oleh Ulama Tahqiq, sangat meragukanjikalau kitab tersebut disandarkan kepada Ibnu Qayyim, bisa saja beliau mengarangnya tetapi pada waktu dalam permulaan mencari ilmu.” (Sesat Tanpa Sadar, Mahrus Ali, hal. 95)
Sebenarnya dengan perkataan itu Mahrus Ali harus mengajukan bukti bahwa kitab tesebut memang bukan karya Ibnu Qayyim al-Jauziyyah. Alangkah bagusnya andaikata Mahrus Ali mau membaca literatur Ibnu Qayyim yang seperti ini dengan pandangan ingin mengetahui kebenaran.
Untuk menjawab komentar Mahrus di atas, kami akan mengutip pernyataan al-Syaikh Bakar Abdullah Abu Zaid, salah satu ulama senior wahabi, beliau berkata dalam kitab Ibnu Qayyim al-Jauziyyah Hayatuhu, Atsaruhu Wa Mawariduhu tentang keabsahan nisbah kitab al-Ruh terhadap Ibnu Qayyim al-Jauziyyah:
“Sudah populer di kalangan para penuntut ilmu bahwasannya kitab al-Ruh dikatakan bukan sebagai karya Ibnu Qayyim, seandainya memang itu adalah tulisan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, berarti beliau telah menulisnya sebelum menjadi murid Ibnu Taimiyah. Pernyataan inilah yang sering dibicarakan para ulama di majelis-majelis ilmu, akan tetapi saya tidak pernah mendapatkannya terbukukan dalam satu kitab, barangkali memang ada, akan tetapi belum terbaca oleh kami.” Permasalah yang timbul ini menggerakkan saya untuk mengkaji kembali serta membaca sekali lagi al-Ruh dari pertama sampai akhir, yang menghasilkan dua kesimpulan sebagai berikut:
Kitab al-Ruh murni karya Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, hal ini didasarkan pada beberapa alasan: Pertama, kitab ini banyak dikutip oleh beberapa ulama terkemuka dalam kitab-kitab mereka, seperti al-Hafizh Ibnu Hajar al-’Asqalani. Kedua, Ibnu Qayyim mengisyaratkan akan adanya kitab ini dalam kitabnva yang lain yaitu Jala’ al-Afhamdi bab keenam, tatkala beliau menerangkan satu hadits, beliau berkata: ” Aku tulis hadits ini secara komprehensif dalam kitabku al-Ruh”. Ketiga, kitab ini mendapat apresiasi tinggi dari al-Imam Burhanuddin al-Biqa’i salah seorang murid al-Hafizh Ibnu Hajar, dengan menulis intisari kitab tersebut, dan beliau beri nama Sirr al-Ruh. Keempat, dalam kitab al-Ruh Ibnu Qayyim menyebut kitab yang lebih besar, yaitu Ma’rifah al-Ruh Wa al-Nafs, kitab ini juga beliau sebutkan dalam Jala’ al-Afham. Kelima, kalau kita betul-betul pengalaman membaca karya-karya Ibnu Qayyim serta memahami seluk-beluk bahasa yang digunakan, kita akan tahu bahwa al-Ruh merupakan tulisan Ibnu Qayyim.
Kitab al-Ruh ditulis setelah beliau berguru dengan Ibnu Taimiyah, hal ini meninjau dua alasan: Pertama, kutipan beliau akan pernyataan Ibnu Taimiyah dalam kitab tersebut, malah kitab tersebut beliau tulis setelah gurunya tersebut meninggal. Kedua, dalam urusan Aqidah beliau mengikuti konsep aqidah Ibnu Taimiyah, yaitu pembagian tauhid menjadi tiga, uluhiyyah, rububiyyah, dan asma’ wa al-sifat.
Kesimpulan dari pernyataan Syaikh Bakar Abdullah Abu Zaid sangat jelas, bahwa kitab al-Ruh adalah karya Ibnu Qayyim al-Jauziyah, serta ditulis setelah berguru kepada Ibnu Taimiyah. Bahkan kitab tersebut ia tulis setelah gurunya meninggal. Yang menjadii pertanyaan, apa yang melandasi pendapat Mahrus Ali bahwa kitab al-Ruh bukan karya Ibnu Qayyim al-Jauziyyah? Apakah hanya dikarenakan kitab tersebut banyak menyebutkan hal-hal yang berseberangan dengan faham Wahabi?
Wallahu a’lam.
(Oleh: Ust. M. Idrus Ramli dalam buku “Kiai NU atau Wahabi yang Sesat Tanpa Sadar?”)
Seringkali Mahrus Ali dengan berani menyalahkan hasil ijtihad guru-guru besar di kalangan Wahabi, seperti Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, Ibnu Taimiyah, dan Muhammad bin Abdul Wahhab tentang apa yang mereka sampaikan bertentangan dengan keyakinan umum ummat Wahabi. Bahkan yang lebih parah lagi Mahrus Ali mengangggap bahwa al-Ruh bukan karya Ibnu Qayyim!.
Dalam buku Sesat Tanpa Sadar (hal. 95), Mahrus Ali berkata :
“Tim LBM NU Jember dalam MKB (hal. 16-17) menyitir pernyataan Ibnu Qayyim al-Jauziyah ulama besar yang biasanya tidak punya harga di kalangan mereka, sebagai berikut:
Nabi SAW telah menetapkan kepada umatnya, apabila mereka mengucapkan salam kepada ahli kubur agar mengucapkannya seperti layaknya salam yang diucapkan kepada orang yang masih hidup yang ada di hadapannya, dan ini berarti berbicara kepada orang yang mendengar dan berakal, andaikan tidak demikian, niscaya khitab ini sama dengan berbicara kepada sesuatu yang tidak ada atau tidak berjiwa. Ulama salaf sepakat tentang hal ini, dalil-dalil atsar seluruhnya mutawatir dari mereka bahwa mayyit mengetahui ziarahnya orang yang hidup, dan merasa senang dengannya. (al-Ruh, hal. 24)
Setelah menyebutkan pernyataan di atas Mahrus Ali berkomentar dalam bukunya:
”Sebagaimana disampaikan oleh Ulama Tahqiq, sangat meragukanjikalau kitab tersebut disandarkan kepada Ibnu Qayyim, bisa saja beliau mengarangnya tetapi pada waktu dalam permulaan mencari ilmu.” (Sesat Tanpa Sadar, Mahrus Ali, hal. 95)
Sebenarnya dengan perkataan itu Mahrus Ali harus mengajukan bukti bahwa kitab tesebut memang bukan karya Ibnu Qayyim al-Jauziyyah. Alangkah bagusnya andaikata Mahrus Ali mau membaca literatur Ibnu Qayyim yang seperti ini dengan pandangan ingin mengetahui kebenaran.
Untuk menjawab komentar Mahrus di atas, kami akan mengutip pernyataan al-Syaikh Bakar Abdullah Abu Zaid, salah satu ulama senior wahabi, beliau berkata dalam kitab Ibnu Qayyim al-Jauziyyah Hayatuhu, Atsaruhu Wa Mawariduhu tentang keabsahan nisbah kitab al-Ruh terhadap Ibnu Qayyim al-Jauziyyah:
“Sudah populer di kalangan para penuntut ilmu bahwasannya kitab al-Ruh dikatakan bukan sebagai karya Ibnu Qayyim, seandainya memang itu adalah tulisan Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, berarti beliau telah menulisnya sebelum menjadi murid Ibnu Taimiyah. Pernyataan inilah yang sering dibicarakan para ulama di majelis-majelis ilmu, akan tetapi saya tidak pernah mendapatkannya terbukukan dalam satu kitab, barangkali memang ada, akan tetapi belum terbaca oleh kami.” Permasalah yang timbul ini menggerakkan saya untuk mengkaji kembali serta membaca sekali lagi al-Ruh dari pertama sampai akhir, yang menghasilkan dua kesimpulan sebagai berikut:
Kitab al-Ruh murni karya Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, hal ini didasarkan pada beberapa alasan: Pertama, kitab ini banyak dikutip oleh beberapa ulama terkemuka dalam kitab-kitab mereka, seperti al-Hafizh Ibnu Hajar al-’Asqalani. Kedua, Ibnu Qayyim mengisyaratkan akan adanya kitab ini dalam kitabnva yang lain yaitu Jala’ al-Afhamdi bab keenam, tatkala beliau menerangkan satu hadits, beliau berkata: ” Aku tulis hadits ini secara komprehensif dalam kitabku al-Ruh”. Ketiga, kitab ini mendapat apresiasi tinggi dari al-Imam Burhanuddin al-Biqa’i salah seorang murid al-Hafizh Ibnu Hajar, dengan menulis intisari kitab tersebut, dan beliau beri nama Sirr al-Ruh. Keempat, dalam kitab al-Ruh Ibnu Qayyim menyebut kitab yang lebih besar, yaitu Ma’rifah al-Ruh Wa al-Nafs, kitab ini juga beliau sebutkan dalam Jala’ al-Afham. Kelima, kalau kita betul-betul pengalaman membaca karya-karya Ibnu Qayyim serta memahami seluk-beluk bahasa yang digunakan, kita akan tahu bahwa al-Ruh merupakan tulisan Ibnu Qayyim.
Kitab al-Ruh ditulis setelah beliau berguru dengan Ibnu Taimiyah, hal ini meninjau dua alasan: Pertama, kutipan beliau akan pernyataan Ibnu Taimiyah dalam kitab tersebut, malah kitab tersebut beliau tulis setelah gurunya tersebut meninggal. Kedua, dalam urusan Aqidah beliau mengikuti konsep aqidah Ibnu Taimiyah, yaitu pembagian tauhid menjadi tiga, uluhiyyah, rububiyyah, dan asma’ wa al-sifat.
Kesimpulan dari pernyataan Syaikh Bakar Abdullah Abu Zaid sangat jelas, bahwa kitab al-Ruh adalah karya Ibnu Qayyim al-Jauziyah, serta ditulis setelah berguru kepada Ibnu Taimiyah. Bahkan kitab tersebut ia tulis setelah gurunya meninggal. Yang menjadii pertanyaan, apa yang melandasi pendapat Mahrus Ali bahwa kitab al-Ruh bukan karya Ibnu Qayyim al-Jauziyyah? Apakah hanya dikarenakan kitab tersebut banyak menyebutkan hal-hal yang berseberangan dengan faham Wahabi?
Wallahu a’lam.
(Oleh: Ust. M. Idrus Ramli dalam buku “Kiai NU atau Wahabi yang Sesat Tanpa Sadar?”)
ini adalah artikel tambahan mengenai orang wahabi yang mengkafirkan ibunda rasulullah saw
Pada suatu pagi, saya duduk duduk I’tikaf lurus depan ka’bah. Tepatnya sebelah lokasi sumur zamzam dulu. Tiba tiba ada anak muda Indonesia yang menghampiri saya dan duduk disebelah saya.
Saya bertanya padanya katanya baru selesai tawaf. Akhirnya kami pun berkenalan dan saling tahu satu sama lain. Rupanya dia menuntut ilmu alias sekolah di Ma’had Masjidil Haram di lantai dua Baabul Malik Fahd. Ketika saya tanya, dia menjawab saat ini ambil jurusan Hafidz Al Qur’an disitu. Singkat kata singkat cerita, tibalah diskusi saya dengannya sebagai berikut:
Saya bertanya: ”Menurut antum, ziarah kubur itu bagaimana sih?”
Dia menjawab: ”Sunnah akhi… memang dulu nabi pernah melarangnya, namun kemudian beliau justru memerintahkan kita untuk berziarah.”
Saya bertanya: ”Bisa antum sebutkan redaksi hadits nya yang saat nabi melarangnya?” Misalnya:”Janganlah kalian berziarah kubur…!! dll?
Dia: ”Wah, afwan,,, ana gak tahu akhi… Yang ana tahu ya hadits larangan yang bersambung kemudian dengan perintah ziarah kubur itu”.
Saya bertanya: ”Apakah ada batasan dalam kandungan perintah nabi dalam ziarah kubur tersebut?”
Dia menjawab: ”Ya iyalah… bahkan ada pendapat yang mengatakan, kalimat perintah nabi untuk berziarah kubur itu tidak berlaku untuk perempuan. Artinya untuk perempuan tidak di sunnahkan berziarah, bahkan Allah SWT dan Rasulullah mengutuknya.”
Saya: ”Masya Allah… segitu nya ya?, Maaf apakah antum sependapat dengan pendapat itu?”
Dia menjawab: ”Iya !! ini lho akhi bunyi haditsnya:
لعن رسول الله زوارات القبور
Pernah dengar dan baca hadits ini khan akhi?”
Saya: Oh itu.. Iya… Alhamdulillah saya juga mengetahui hadits itu. Hadits itu adalah haditsnya Hasaan bin Tsabit. Yang dikeluarkan oleh Ibnu Majjah dari jalur Faryabi. Dan juga Imam Baihaqi dalam sunan kubronya, dari jalur Sufyan Atsaury. Dan dalam kitab Zawaaid dikatakan bahwa sanadnya Hasaan bin Tsabit itu Shohih dan para rawinya itu terpercaya semua. Hadits ini juga dikeluarkan oleh imam Tirmidzi dan kata beliau “Hasan Shohih”. Juga ada yang senada dengan hadits tersebut yang diriwayatkan oleh imam Annasa’i dan Abi Dawud. Wallahu a’lam.
Dia:”Yaa begitulah akhi…
Saya: ”Apakah anda tidak pernah baca atau mendengar, sebuah hadits yang menceritakan bahwa Aisyah berziarah ke kuburan baqi’ madinah, bahkan oleh Nabi SAW di beri tahu tata caranya berziarah?”
Dia: ”Mmmm… Yang mana ya?”
Saya: ”Oh.. lewat deh… Kalau misalnya saya berziarah ke kuburannya orang kafir, boleh nggak?”
Dia menjawab: ”Ya jelas nggak boleh akhi…. Ini juga, termasuk pengecualian dari hadits perintah berziarah kubur tadi… Jadi maksud nabi, hanya mencakup kuburannya orang orang muslim akhi… Lagian ngapain antum berziarah ke kuburannya orang non muslim… hahaha… ada ada aja akhi ini…
Saya: ”Ya endaklah… saya khan cuma tanya, misalnya… Lalu, kalau boleh tahu, maaf, apakah anda termasuk orang yang berpendapat ibunda nabi Muhammad orang kafir?”
Dia menjawab: ”Iya akhi… antum kok tahu?” memang seperti itu adanya akhi…
Saya: ”Hmmm… Lantas kenapa Allah kok mengijinkan Nabi SAW menziarahi kuburan ibundanya tersebut? Bukankah tadi antum mengatakan, kita tidak boleh berziarah ke kuburannya orang non muslim (Kafir)?”
Dia: ”Masak seperti itu akhi?” Setahu saya, Nabi SAW tidak di ijinkan oleh Allah untuk memohon ampunan atas ibunya itu, bagaimana menurut antum ini akhi?”
“Aku meminta izin kepada Rabb-ku untuk memintakan ampunan untuk ibuku. Tapi Dia tidak mengizinkannya. Dan aku meminta izin untuk menziarahi makam ibuku, maka Dia mengizinkannya. Maka berziarahlah kalian karena ziarah tersebut dapat mengingatkan kalian kepada kematian” (HR. Muslim : 3/65). – red.
Saya: ”Ya benar memang begitu bunyi hadits alenia pertamanya… Nabi memang tidak di ijinkan oleh Allah SAW untuk memohonkan ampunanNya atas ibunya.. Namun bunyi alenia kedua hadits tersebut menjelaskan bahwa Nabi SAW cukup di ijinkan menziarahinya saja.
Dia: ”Lantas apa artinya semua itu? Nabi tidak boleh memohonkan ampunanNya atasnya?”
Saya: ”Ya jelaslah… Allah tidak mengijinkannya… Itu maskudnya tidak perlu !! dan tidak usah !!
artinya, ibundanya Nabi SAW tidak perlu di mohonkan ampunan, karena beliau tidak punya dosa dan telah menjadi penghuni surga yang abadi. Lantas bagaimana dengan pertanyaan saya tadi?” Mohon di jawab akhi !!
Dia: ”Ada haditsnya nggak?”
Saya: ”Ada akhi… begini bunyinya kalau nggak salah:
كنت نهيتكم عن زيارة القبور, فزوروها فقد اذن لمحمد فى زيارة قبر امه.
“Saya pernah melarang kamu berziarah kubur. Tapi sekarang Muhammad teah diberi izin untuk berziarah ke makam ibunya. Maka sekarang berziarahlah!” Hadits riwayat imam Muslim dan imam Tirmidzi.
Bagimana tanggapan akhi?”
Dia: ”Wah… maaf, kayaknya saya tidak bisa meneruskan dialog kita ini akhi… saya harus pamit dulu… Assalamu’alaikum…
Saya: ”Wa ‘alaikumus salaam warohmatullahi wabarokatuh…
*twing ^^
Oleh: Kaheel Baba Naheel. Bakkah, 2 Mei 2009
Dari dialog tersebut maka terlihat sekali kalau wahabi sangat tergesa-gesa mengatakan bahwa ibu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam adalah kafir. Wal ‘iyadzubillah… Inilah kesalahan wahabi. Mereka tidak pernah melihat dalil-dalil lain yang lebih kuat dan lebih qoth’i. Sudahlah cara mereka sangat tekstual dalam memahami nash ditambah pula tak mau melihat dan menggabungkan dalil-dalil lain yang ada. Maka hancurlah istimbath mereka dalam segala bidang, baik fiqih, tauhid maupun tasawuf.
Mengenai hadits di atas, mari kita dengar apa kata Imam Suyuthi:
“ Adapun hadits tersebut maka tidak mesti diambil daripadanya hukum kafir berdasarkan dalil bahwasanya Nabi shallallahu alaihi wa sallam juga ketika di awal-awal Islam dilarang untuk menyolatkan dan mengistighfarkan orang mukmin yang ada hutangnya tapi belum dilunaskan karena istighfar Nabi shallallahu alaihi wa sallam akan dijawab Allah dengan segera, maka siapa yang diistighfarkan Rasul dibelakang doanya akan sampailah kepada derajat yang mulia di surga, sementara orang yang berhutang itu tertahan pada maqomnya sampai dilunaskan hutangnya sebagaimana yang ada dalam hadits (jiwa setiap mukmin terkatung dengan hutangnya sampai hutangnya itu dilunaskan). Maka seperti itu pulalah ibu Nabi alaiha salam bersamaan dengan posisinya sebagi seorang wanita yang tak pernah menyembah berhala, maka beliaupun tertahan dari surga di dalam barzakh ; karena ada sesuatu yang lain diluar kufur.”[At-Ta’zhim wal Minnah Suyuthi hal 29].
Kemudian mari kita simak apa kata Al-Allamah Al Arif Billah Syaikh Zaki Ibrahim:
Sesungguhnya ahlul bait Nabi tak akan masuk ke dalam neraka dan ibunya adalah daripada ahlul bait Nabi sebagaimana yang dikeluarkan oleh Ibnu Sa’ad dan lainnya dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam: “Aku memohon kepada Allah supaya tidak ada satupun ahlul baitku yang masuk ke dalam neraka, maka Allah mengabulkan permhonanku.” Dan begitupula yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Jarir Ath-Thobari dari Ibnu Abbas tentang penafsiran ayat: wa la saufa yu’tika Rabbuka fa tardha; dan daripada keridhoan Muhammad adalah tidak ada satu daripada ahlul baitnya yang masuk ke dalam neraka. Maka memintakan ampun kepada ibunya dalam kondisi yang seperti ini juga merupakan suatu hal yang sia-sia dan percuma, dan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam disucikan Allah dari hal yang percuma dan sia-sia.[‘Ismatun Nabi Zaki Ibrahim hal.96]
Wallahu a’lam bishshowab
Saya bertanya padanya katanya baru selesai tawaf. Akhirnya kami pun berkenalan dan saling tahu satu sama lain. Rupanya dia menuntut ilmu alias sekolah di Ma’had Masjidil Haram di lantai dua Baabul Malik Fahd. Ketika saya tanya, dia menjawab saat ini ambil jurusan Hafidz Al Qur’an disitu. Singkat kata singkat cerita, tibalah diskusi saya dengannya sebagai berikut:
Saya bertanya: ”Menurut antum, ziarah kubur itu bagaimana sih?”
Dia menjawab: ”Sunnah akhi… memang dulu nabi pernah melarangnya, namun kemudian beliau justru memerintahkan kita untuk berziarah.”
Saya bertanya: ”Bisa antum sebutkan redaksi hadits nya yang saat nabi melarangnya?” Misalnya:”Janganlah kalian berziarah kubur…!! dll?
Dia: ”Wah, afwan,,, ana gak tahu akhi… Yang ana tahu ya hadits larangan yang bersambung kemudian dengan perintah ziarah kubur itu”.
Saya bertanya: ”Apakah ada batasan dalam kandungan perintah nabi dalam ziarah kubur tersebut?”
Dia menjawab: ”Ya iyalah… bahkan ada pendapat yang mengatakan, kalimat perintah nabi untuk berziarah kubur itu tidak berlaku untuk perempuan. Artinya untuk perempuan tidak di sunnahkan berziarah, bahkan Allah SWT dan Rasulullah mengutuknya.”
Saya: ”Masya Allah… segitu nya ya?, Maaf apakah antum sependapat dengan pendapat itu?”
Dia menjawab: ”Iya !! ini lho akhi bunyi haditsnya:
لعن رسول الله زوارات القبور
Pernah dengar dan baca hadits ini khan akhi?”
Saya: Oh itu.. Iya… Alhamdulillah saya juga mengetahui hadits itu. Hadits itu adalah haditsnya Hasaan bin Tsabit. Yang dikeluarkan oleh Ibnu Majjah dari jalur Faryabi. Dan juga Imam Baihaqi dalam sunan kubronya, dari jalur Sufyan Atsaury. Dan dalam kitab Zawaaid dikatakan bahwa sanadnya Hasaan bin Tsabit itu Shohih dan para rawinya itu terpercaya semua. Hadits ini juga dikeluarkan oleh imam Tirmidzi dan kata beliau “Hasan Shohih”. Juga ada yang senada dengan hadits tersebut yang diriwayatkan oleh imam Annasa’i dan Abi Dawud. Wallahu a’lam.
Dia:”Yaa begitulah akhi…
Saya: ”Apakah anda tidak pernah baca atau mendengar, sebuah hadits yang menceritakan bahwa Aisyah berziarah ke kuburan baqi’ madinah, bahkan oleh Nabi SAW di beri tahu tata caranya berziarah?”
Dia: ”Mmmm… Yang mana ya?”
Saya: ”Oh.. lewat deh… Kalau misalnya saya berziarah ke kuburannya orang kafir, boleh nggak?”
Dia menjawab: ”Ya jelas nggak boleh akhi…. Ini juga, termasuk pengecualian dari hadits perintah berziarah kubur tadi… Jadi maksud nabi, hanya mencakup kuburannya orang orang muslim akhi… Lagian ngapain antum berziarah ke kuburannya orang non muslim… hahaha… ada ada aja akhi ini…
Saya: ”Ya endaklah… saya khan cuma tanya, misalnya… Lalu, kalau boleh tahu, maaf, apakah anda termasuk orang yang berpendapat ibunda nabi Muhammad orang kafir?”
Dia menjawab: ”Iya akhi… antum kok tahu?” memang seperti itu adanya akhi…
Saya: ”Hmmm… Lantas kenapa Allah kok mengijinkan Nabi SAW menziarahi kuburan ibundanya tersebut? Bukankah tadi antum mengatakan, kita tidak boleh berziarah ke kuburannya orang non muslim (Kafir)?”
Dia: ”Masak seperti itu akhi?” Setahu saya, Nabi SAW tidak di ijinkan oleh Allah untuk memohon ampunan atas ibunya itu, bagaimana menurut antum ini akhi?”
“Aku meminta izin kepada Rabb-ku untuk memintakan ampunan untuk ibuku. Tapi Dia tidak mengizinkannya. Dan aku meminta izin untuk menziarahi makam ibuku, maka Dia mengizinkannya. Maka berziarahlah kalian karena ziarah tersebut dapat mengingatkan kalian kepada kematian” (HR. Muslim : 3/65). – red.
Saya: ”Ya benar memang begitu bunyi hadits alenia pertamanya… Nabi memang tidak di ijinkan oleh Allah SAW untuk memohonkan ampunanNya atas ibunya.. Namun bunyi alenia kedua hadits tersebut menjelaskan bahwa Nabi SAW cukup di ijinkan menziarahinya saja.
Dia: ”Lantas apa artinya semua itu? Nabi tidak boleh memohonkan ampunanNya atasnya?”
Saya: ”Ya jelaslah… Allah tidak mengijinkannya… Itu maskudnya tidak perlu !! dan tidak usah !!
artinya, ibundanya Nabi SAW tidak perlu di mohonkan ampunan, karena beliau tidak punya dosa dan telah menjadi penghuni surga yang abadi. Lantas bagaimana dengan pertanyaan saya tadi?” Mohon di jawab akhi !!
Dia: ”Ada haditsnya nggak?”
Saya: ”Ada akhi… begini bunyinya kalau nggak salah:
كنت نهيتكم عن زيارة القبور, فزوروها فقد اذن لمحمد فى زيارة قبر امه.
“Saya pernah melarang kamu berziarah kubur. Tapi sekarang Muhammad teah diberi izin untuk berziarah ke makam ibunya. Maka sekarang berziarahlah!” Hadits riwayat imam Muslim dan imam Tirmidzi.
Bagimana tanggapan akhi?”
Dia: ”Wah… maaf, kayaknya saya tidak bisa meneruskan dialog kita ini akhi… saya harus pamit dulu… Assalamu’alaikum…
Saya: ”Wa ‘alaikumus salaam warohmatullahi wabarokatuh…
*twing ^^
Oleh: Kaheel Baba Naheel. Bakkah, 2 Mei 2009
Dari dialog tersebut maka terlihat sekali kalau wahabi sangat tergesa-gesa mengatakan bahwa ibu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam adalah kafir. Wal ‘iyadzubillah… Inilah kesalahan wahabi. Mereka tidak pernah melihat dalil-dalil lain yang lebih kuat dan lebih qoth’i. Sudahlah cara mereka sangat tekstual dalam memahami nash ditambah pula tak mau melihat dan menggabungkan dalil-dalil lain yang ada. Maka hancurlah istimbath mereka dalam segala bidang, baik fiqih, tauhid maupun tasawuf.
Mengenai hadits di atas, mari kita dengar apa kata Imam Suyuthi:
“ Adapun hadits tersebut maka tidak mesti diambil daripadanya hukum kafir berdasarkan dalil bahwasanya Nabi shallallahu alaihi wa sallam juga ketika di awal-awal Islam dilarang untuk menyolatkan dan mengistighfarkan orang mukmin yang ada hutangnya tapi belum dilunaskan karena istighfar Nabi shallallahu alaihi wa sallam akan dijawab Allah dengan segera, maka siapa yang diistighfarkan Rasul dibelakang doanya akan sampailah kepada derajat yang mulia di surga, sementara orang yang berhutang itu tertahan pada maqomnya sampai dilunaskan hutangnya sebagaimana yang ada dalam hadits (jiwa setiap mukmin terkatung dengan hutangnya sampai hutangnya itu dilunaskan). Maka seperti itu pulalah ibu Nabi alaiha salam bersamaan dengan posisinya sebagi seorang wanita yang tak pernah menyembah berhala, maka beliaupun tertahan dari surga di dalam barzakh ; karena ada sesuatu yang lain diluar kufur.”[At-Ta’zhim wal Minnah Suyuthi hal 29].
Kemudian mari kita simak apa kata Al-Allamah Al Arif Billah Syaikh Zaki Ibrahim:
Sesungguhnya ahlul bait Nabi tak akan masuk ke dalam neraka dan ibunya adalah daripada ahlul bait Nabi sebagaimana yang dikeluarkan oleh Ibnu Sa’ad dan lainnya dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam: “Aku memohon kepada Allah supaya tidak ada satupun ahlul baitku yang masuk ke dalam neraka, maka Allah mengabulkan permhonanku.” Dan begitupula yang diriwayatkan oleh Imam Ibnu Jarir Ath-Thobari dari Ibnu Abbas tentang penafsiran ayat: wa la saufa yu’tika Rabbuka fa tardha; dan daripada keridhoan Muhammad adalah tidak ada satu daripada ahlul baitnya yang masuk ke dalam neraka. Maka memintakan ampun kepada ibunya dalam kondisi yang seperti ini juga merupakan suatu hal yang sia-sia dan percuma, dan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam disucikan Allah dari hal yang percuma dan sia-sia.[‘Ismatun Nabi Zaki Ibrahim hal.96]
Wallahu a’lam bishshowab
dengan membaca dan merenungi artikel artikel seperti diatas anda akan lebih faham bahwa wahabi itu adalah aliran sesat dan menyesatkan,na'udzubillahi min dzalik.
semoga artikel ini bermanfaat
sayang bener, ternyata hari gini masih meributkan yg kaya beginian, islam ribut dgn islam, gara-gara keyakinan yg belum tentu yakin kebenarannya.
BalasHapusanonim@yang perlu dikasihani itu anda,hari gini masih belum mengerti apa itu islam,apa saja kewajiban dalam islam.
Hapuspondok pesantren di indonesia ini saja ada sangat banyak,heran!masih ada juga yg tidak mengerti islam.
mengajilah pada orang yg alim apabila anda tidak tahu,ingatlah,islam sangat tidak menyukai pemeluknya yg bodoh,kebodohan bukan ciri orang islam.
wahabi itu apa mas?anda kok keterlaluan bilang wahabi islam.
lebih baik mengaji saja,daripada nantinya anda menjadi salah satu perongrong islam.semoga setelah ini anda bisa belajar,dan semoga anda mendapat petunjukNYA
Asslm trimakasih tambah pengetahuan tentang islam, amien
BalasHapusSyukran... Akhy Mahrus Ali gpl, teruslah antum memperjuangkan faham ASWAJA, semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan ma'unah Nya kpd antum, tentunya jangan lupa kedepankan Ahlaq al karimah.
BalasHapusBlog yg sangat bagus dan bisa mengimbangi blog2 'mereka' yg semakin menjamur. Blog memang hrs dilawan dgn blog, sebab mereka kurang pede --mgkn karena keterbatasan ilmunya-- jika berdialog secara lgsg dan terbuka.
BalasHapusKetika Mahrus Ali menerbitkan buku "Mantan Kiyai NU.." lalu diundang secara terhormat dan bermartabat oleh pihak yang dia sesatkan (NU) walaupun mediatornya adalah salah satu lembaga pendidikan Tinggi Islam, sang mantan kiyai tetap tidk berani datang mempertahankan argumentasinya secara ilmiah di depan para kaum intelektual dan akademisi. Mahrus hy berani bersembunyi di balik blognya.
Teruskan perjuangan akhi, mdh2n menjadi blog yang bermanfaat.
Nabi Nuh 'alaihissalam diutus oleh Allah ketika berhala dan thagut disembah oleh manusia dan manusia mulai terjerumus ke dalam kesesatan dan kekafiran. Nabi Nuh 'alaihissalam adalah Rasul pertama yang diutus kepada penghuni bumi. Kaum Nabi Nuh adalah Bani Rasib.
BalasHapusAllah berfirman dalam Al-qur'an surat Nuh ayat 23: "Dan mereka berkata, 'Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) wadd, dan jangan pula suwaa', yaghuts, ya'uq dan nasr."
Wadd, suwaa', yaghuts, ya'uq dan nasr adalah nama-nama orang shalih dari kalangan kaum Nuh. Dahulunya, mereka adalah orang-orang shalih yang hidup di masa antara Adam dan Nuh. Mereka mempunyai pengikut yang senantiasa mencontoh mereka. Setelah mereka meninggal, maka para sahabat mereka yang senantiasa mencontoh mereka berkata: "sekiranya kita membuat patung mereka, niscaya akan lebih mendorong hati kita untuk beribadah karena mengingat mengingat mereka". Maka mereka pun membuat patung orang-orang shalih tersebut. Ketika mereka meninggal dan datang generasi berikutnya, maka iblis mendatangi mereka seraya berkata: "Mereka (generasi sebelumnya) menyembah patung-patung ini dan dengan patung-patung ini pula mereka meminta hujan". Maka mereka pun menyembah patung-patung tersebut.
Wadd, salah satu nama berhala yang disembah kaum Nabi Nuh, dulunya adalah orang shalih. Dia adalah anak Nabi Adam yang tertua dan paling berbakti kepada Nabi Adam. Dia sangat dicintai oleh kaumnya. Ketika ia meninggal, maka orang berdiam diri di sekitar kuburannya di daerah Babilonia dan bersedih atas kepergiannya.
Ketika iblis melihat kesedihan mereka, maka ia menyerupai seorang manusia dan berkata: "saya melihat kalian sangat bersedih atas kepergian orang ini. Maukah aku buatkan sebuah patung yang menyerupainya, kemudian kalian letakkan di tempat perkumpulan kalian agar senantiasa mengingatnya?"
Maka mereka pun meletakkan patung di tempat perkumpulan mereka dan mereka senantiasa mengingatnya. Ketika iblis mendapati orang-orang selalu mengingat keberadaan Waad, maka iblis berkata: "maukah kalian aku buatkan patung yang menyerupainya yang dapat diletakkan oleh setiap dari kalian di rumah masing-masing agar kalian terus mengingatnya?" Mereka menjawab: "Ya.." Maka iblis membuat patung Wadd di setiap rumah. Orang-orang pun senantiasa mendatangi dan mengingatnya.
Kemudian anak-anak mereka melihat apa yang mereka lakukan atas patung tersebut. Mereka pun terus banyak menurunkan keturunan dan mengajarkan tata cara mereka mengingat Waad, hingga pada akhirnya cucu mereka menyembah selain Allah. Jadi yang pertama kali disembah selain Allah adalah patung Wadd.
Setelah kerusakan dan malapetaka menyebar luas di muka bumi dengan munculnya penyembahan terhadap patung-patung, maka Allah Ta'ala mengutus seorang hamba dan Rasul-Nya, Nuh 'alaihissalam untuk menyeru manusia agar hanya menyembah kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya. Nabi Nuh menyeru kaumnya dengan berbagai macam bentuk dakwah baik di waktu malam, atau siang hari, sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan.
(Sumber: Kisah-Kisah Nabi dan Rasul, Ibnu Katsir)
blog anak kecil bukan orang dewasa, memalukan
BalasHapusYang wahabi silakan anda yakini kewahabian anda. Jangan terpengaruh oleh kyai gpk yang koplak
BalasHapusArtikel koplak
BalasHapusBlog koplak
BalasHapus